Energi merupakan kebutuhan mendasar bagi manusia. Akses energi memberikan ruang bagi masyarakat untuk dapat memenuhi kebutuhan dasar sekaligus melakukan berbagai kegiatan yang sifatnya produktif. Data dari Kementerian ESDM menunjukkan bahwa, potensi listrik energi terbarukan di Indonesia mencapai 432 GW, atau sekitar 7-8 kali dari total kapasitas pembangkit terpasang. Namun demikian, hanya 7 GW yang dimanfaatkan secara komersial. Untuk mendukung percepatan bauran energi nasional, maka dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2019-2028 akan ada penambahan kapasitas sebesar 29 GW oleh PLN.
Laporan Status Energi Bersih Indonesia: Potensi, Kapasitas Terpasang, dan Rencana Pembangunan Pembangkit Listrik Energi Terbarukan oleh IESR pada tahun 2019 menyatakan bahwa potensi energi surya di Indonesia lebih dari 200 GW. Namun demikian, pemanfaatan energi surya dalam pembangkitan listrik masih kurang dari 200 MW, jauh tertinggal dengan beberapa negara di Asia Tenggara. Padahal, potensi tenaga surya tersedia merata di seluruh wilayah darat dan laut Indonesia dengan tingkat iradiasi matahari rata-rata sebesar 4,8 kWh/m2/hari dan potensi pembangkitan listrik surya hingga 1.534 kWh/kWp (Bank Dunia & Solargis, 2017).
Salah satu wilayah dengan potensi iradiasi sinar matahari tertinggi adalah Nusa Tenggara Timur (NTT). Selain itu, NTT juga menjadi salah satu provinsi dengan tingkat kemiskinan tertinggi di Indonesia dan dengan rasio elektrifikasi yang masih cukup rendah, 72% pada 2019. Karenanya, NTT menjadi lokasi yang dipilih untuk percontohan Energy Delivery Model (EDM), sebuah pendekatan penyediaan akses energi yang dikembangkan oleh Catholic Agency for Overseas Development (CAFOD) dan International Institute for Environment and Development (IIED). Untuk implementasinya di Indonesia, EDM dikembangkan bersama dengan IESR dan bermitra dengan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN).
Proyek percontohan ini bertujuan mendorong dampak yang berkelanjutan dan lintas sektoral dari penyediaan akses energi berbasis energi terbarukan. Dengan menekankan pada partisipasi masyarakat dan solusi yang mampu menjawab masalah di sana, masyarakat di Desa Boafeo, Ende, NTT mengidentifikasi beberapa value proposition/VP yang meliputi beragam aspek: pendidikan, kegiatan rumah tangga, dan kegiatan produktif bernilai ekonomi. VP yang disepakati bersama oleh masyarakat, pemuka desa, dan tokoh adat adalah peningkatan kualitas pendidikan dengan pembelajaran kreatif dan interaktif, penerangan yang lebih baik untuk rumah tangga, dan peningkatan kualitas produksi kopi. Ketiganya memerlukan energi dalam bentuk listrik dan memerlukan juga peningkatan kapasitas masyarakat serta pendampingan yang berkesinambungan.
Pada Agustus 2019, IESR secara resmi menyerahkan instalasi pembangkit listrik surya atap (PLTS atap) yang telah dipasang di SD Katolik Boafeo beserta alat bantu belajar mengajar pada masyarakat Boafeo; sebagai salah satu perwujudan solusi penyediaan energi perdesaan yang direncanakan dan dipilih bersama masyarakat.
”Pemasangan instalasi PLTS atap ini merupakan langkah awal implementasi EDM dan Boafeo menjadi desa pertama di Indonesia yang kami jadikan percontohan. Kami berharap energi surya yang tersedia di SDK Boafeo ini dapat mendorong semangat anak-anak untuk belajar, mempermudah proses belajar mengajar, dan pada akhirnya meningkatkan kualitas pendidikan mereka,” tutur Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR, dalam sambutannya di acara serah terima tersebut.
Melalui pendekatan EDM, terlihat bahwa kebutuhan energi yang muncul di Boafeo cukup multidimensional, tidak hanya pada kebutuhan penerangan dan tidak selesai pada penyediaan energinya saja. Dari value proposition terkait kopi, misalnya, energi telah dilihat sebagai faktor pendorong untuk meningkatkan produktivitas, di sisi lain juga perlu kegiatan pendukung untuk mendorong para petani kopi mempraktikkan cara pertanian yang baik untuk meningkatkan kualitas kopi atau mengemas kopi dengan menarik sehingga dapat dijual di pasar yang lebih luas dan lebih jauh.
Energi terbarukan setempat, baik dalam bentuk energi surya, angin, air, hingga biomassa, menjadi sumber energi potensial yang akan membantu masyarakat untuk membangun desa dan meningkatkan kesejahteraan hidup mereka, termasuk untuk pendidikan. Model “sekolah surya” seperti yang diterapkan di SD Katolik Boafeo dapat direplikasi di banyak sekolah lain di Indonesia, terutama yang memiliki akses energi terbatas untuk kegiatan belajar mengajar. Percontohan EDM juga dapat menjadi salah satu pendekatan pembangunan desa yang dapat diterapkan sesuai konteks lokal untuk daerah-daerah lain di Indonesia.
Icmi A. Safitri & Rizki Mahfudz Prasetyo – IESR