“Energi surya adalah raja (solar power is king),”
demikian salah satu kesimpulan dari laporan World Energy Outlook 2020 dari International Energy Agency (IEA). Secara global, harga listrik dari energi surya telah menjadi yang terendah dibandingkan dengan sumber energi fosil dan sumber energi terbarukan lain. Pertumbuhan tahunan pembangkit listrik tenaga surya terus memimpin dari tahun ke tahun, dan IEA memperkirakan di tahun 2040 pertumbuhannya akan mencapai 200 GW/tahun, dua kali lipat dari pertumbuhan saat ini.
Belajar dari India
India merupakan salah satu pemain terdepan energi surya di dunia. Sejak tahun 2000an, pemerintah India telah menggarap energi surya secara serius. Misi Surya Nasional (National Solar Mission) dideklarasikan oleh India pada tahun 2010, dengan target “hanya” 20 GW pada tahun 2022. Selain komitmen politik yang kuat, target yang jelas, serta turunan kebijakan dan regulasi yang mendukung, terbukanya pasar energi surya global yang berkontribusi pada penurunan harga modul surya kemudian mendorong India untuk merevisi target tersebut menjadi 100 GW, dan ditambah kembali menjadi 200 GW dengan tenggat waktu yang sama.
“Resep surya” India yang membuat mereka berhasil mengembangkan energi surya hingga puluhan dan akan mencapai ratusan gigawatt mencakup:
- Komitmen politik dan kebijakan yang konsisten dengan target jangka panjang yang jelas dan terarah. Dengan adanya komitmen ini, pengembang lokal dan internasional memiliki keyakinan untuk membangun PLTS di India karena mampu memproyeksikan bisnis mereka dalam 10 sampai 20 tahun mendatang. Selain itu, banyaknya pengembang yang tertarik membangun PLTS juga meningkatkan daya saing, banyak dari mereka yang mampu menawarkan harga energi surya rendah. Pemerintah India juga menetapkan ketentuan Renewable Purchase Obligation (RPO), di mana setiap negara bagian wajib menetapkan target energi terbarukan sebagai prioritas yang harus dicapai. Pemerintah negara bagian juga membantu pencapaian target ini dengan mempermudah akuisisi lahan atau perizinan.
- Implementasi kebijakan dalam program dan proyek yang lebih nyata. Pemerintah India membuat satu perusahaan milik negara yang khusus membantu pencapaian Misi Surya Nasional, yaitu Solar Energy Corporation of India Limited (SECI). Dengan misi sangat spesifik ini, SECI bertanggung jawab akan penyaluran bantuan pembiayaan untuk pengembangan PLTS melalui berbagai skema, misalnya viability gap fund (VGF) untuk PLTS skala besar, pembukaan solar park, dan skema khusus, seperti skema canal-top (PLTS di atas kanal/saluran air).
- Tersedianya dukungan pembiayaan melalui National Clean Energy and Environmental Fund (NCEEF), pendampingan finansial kepada pengembang proyek dan optimalisasi pendanaan secara publik.
- Proses pengadaan (procurement) yang efektif dan menciptakan daya saing. Dengan desain yang baik, dilakukan transparan, serta dibuat dalam skala besar, lelang terbalik (reverse auction) yang diadopsi pemerintah India mampu menghasilkan harga pembangkitan yang jauh lebih murah dibandingkan dengan energi fosil.
Meski demikian, terdapat juga beberapa risiko yang harus digarisbawahi, di antaranya penundaan pembayaran dari offtaker (perusahaan listrik), curtailment (keterbatasan penyerapan energi surya ke jaringan), fluktuasi mata uang asing, proses akuisisi lahan dan bangunan yang terkadang menemui kendala, serta beberapa perubahan kebijakan dan regulasi yang juga bisa bervariasi di masing-masing negara bagian.
Simak diskusi daring IESR #GigawattClub episode pertama di tautan berikut:
Belajar dari Vietnam
Di Asia Tenggara, Vietnam saat ini dikenal sebagai solar power house karena menunjukkan perkembangan yang signifikan dalam waktu singkat. Hingga 2019, Vietnam berhasil meningkatkan kapasitas total PLTS (skala besar dan PLTS atap) hingga lebih dari 5 GW, dari sekitar 100 MW pada 2017. Akhir tahun ini, kapasitas terpasang mereka diprediksikan akan mencapai 10 GW. Untuk PLTS skala besar, waktu rata-rata yang dibutuhkan untuk konstruksi dan commissioning juga sangat cepat, yakni 275 hari.
Apa “resep surya” Vietnam sehingga bisa mencatatkan perkembangan yang masif ini? Terdapat beberapa kesamaan strategi Vietnam dan India untuk mendorong energi surya mereka, juga beberapa langkah inovatif yang disesuaikan dengan konteks negara, yaitu:
- Pemerintah Vietnam merespon ancaman krisis listrik di masa depan dengan memastikan keamanan pasokan energi dari energi terbarukan. Energi surya menjadi pilihan Vietnam karena lebih cepat dibangun, melibatkan banyak pihak untuk investasinya sehingga tidak membebani anggaran negara dalam jangka panjang, dan harga teknologi surya yang semakin lama semakin rendah akan berkontribusi pada penurunan harga energi secara keseluruhan.
- Selain untuk mengamankan pasokan energi, energi surya juga menjadi strategi pemerintah Vietnam untuk pembangunan hijau, menumbuhkan ekonomi dalam negeri, dan upaya keluar dari jebakan negara berpendapatan rendah (middle-income trap).
- Adanya kebijakan yang tepat, konsisten, dan menarik, salah satunya dengan penetapan feed-in-tariff (FiT). Sejak 2017 hingga saat ini, pemerintah Vietnam merancang dan menerapkan FiT dengan desain adaptif yang disesuaikan dengan lokasi serta perkembangan pasar surya dalam negeri. Dengan kepastian regulasi dan dukungan pemerintah, proyek-proyek surya di Vietnam dinilai menarik secara ekonomi dengan IRR pada angka belasan. Pengguna PLTS atap rumahan dan bangunan komersial juga dapat menikmati FiT ini sehingga penggunaan PLTS atap dilihat sebagai investasi yang menguntungkan.
- Terbukanya akses pada sumber pembiayaan, di mana pengembang dapat memobilisasi pembiayaan dari berbagai sumber, termasuk pendanaan asing.
- Adanya berbagai insentif dan kemudahan, misalnya pembebasan tarif impor barang, termasuk modul surya, dan pembebasan pajak penghasilan untuk pengembang selama 4 tahun pertama dan diskon di tahun-tahun berikutnya. Selain itu, pemerintah juga membebaskan sewa tanah untuk proyek-proyek PLTS tertentu sampai dengan 14 tahun.
- Perusahaan listrik negara (EVN) mendukung pemanfaatan energi surya secara masif dan memiliki beberapa skema yang ditujukan untuk target berbeda-beda; misalnya platform EVNSolar untuk pengguna PLTS atap, dan direct/corporate PPA (power purchase agreement), di mana penjualan listrik dimungkinkan antar pihak tanpa terlebih dahulu menjualnya ke EVN.
- Dukungan lembaga pembiayaan dan perbankan dalam bentuk skema pembiayaan menarik, misalnya soft loan.
Simak diskusi daring IESR #GigawattClub episode kedua di tautan berikut:
“Resep Surya” yang bisa diadopsi oleh Indonesia
Meski memiliki potensi energi surya yang tinggi, pertumbuhan energi surya di Indonesia terbilang lambat, termasuk karena iklim investasi yang kurang mendukung. “Resep surya” India dan Vietnam yang dapat diadopsi ke dalam konteks Indonesia di antaranya:
- Adanya komitmen politik yang kuat dengan target dan perencanaan yang strategis dan jelas. Konsistensi kebijakan dan adanya target serta rencana jangka panjang dianggap sebagai sinyal kepastian untuk pengembang.
- Proses dan prosedur administrasi yang lugas, sederhana, dan transparan.
- Jaminan ketersediaan jaringan dan penyerapan, sehingga tidak terjadi curtailment.
- Reformasi subsidi listrik dan tarif listrik, dengan mempertimbangkan potensi aset terdampar (stranded assets) dari energi fosil dan keekonomian energi terbarukan termasuk energi surya saat ini. Untuk penyediaan listrik perdesaan, PLTS dapat menjadi alternatif penyediaan akses energi yang least-cost dan untuk menggantikan PLTD berbahan bakar diesel. PLTS atap juga bisa menjadi pengganti subsidi listrik untuk kelompok masyarakat miskin dan rentan miskin.
- Perlunya skema inovatif untuk mendorong pemanfaatan energi surya bagi beragam sektor, seperti direct PPA yang memungkinkan sektor komersial atau industri (C&I) untuk menjual atau mendapatkan listrik energi terbarukan secara langsung dari perusahaan lain.
- Untuk PLTS skala besar, pemerintah perlu menyediakan lokasi atau kawasan eksklusif (solar park) atau membantu pengembang untuk mengakuisisi atau menyewa lahan dengan biaya rendah. Solar park ini perlu terintegrasi dengan kegiatan ekonomi atau industri terdekat.
- Perlunya strategi sosialisasi dan peningkatan kesadaran atau minat berbagai kalangan. Sebagai sumber energi yang demokratis, peran serta pemerintah di berbagai tingkat, masyarakat, kelompok industri dan komersial akan membantu peningkatan pemanfaatan energi surya dengan sumber-sumber pembiayaan yang beragam. Lembaga keuangan juga dapat berpartisipasi secara aktif untuk menyediakan skema pembiayaan yang menarik.
Jadi bisakah Indonesia segera menyusul India dan Vietnam masuk ke dalam Gigawatt Club energi surya?
Penulis: Marlistya Citraningrum, Manajer Program Akses Energi Berkelanjutan, IESR