Pada tanggal 10 Oktober 2019, bertempat di JIEXPO Kemayoran, Institute for Essential Services Reform (IESR) menyelenggarakan seminar dan diskusi “Percepatan Pengembangan PLTS di Indonesia untuk Mencapai Target 6,5 GW di Tahun 2025”. Seminar dan diskusi ini diselenggarakan untuk mempertemukan pemerintah, pengelola sektor ketenagalistrikan, pelaku usaha, pemerhati energi, dan publik untuk menjawab pertanyaan kunci tersebut dan memberikan masukan konstruktif serta komitmen untuk pengembangan energi surya di Indonesia.
Seminar dan diskusi ini terbagi dalam 2 sesi: sesi pertama membahas tentang kebijakan dan regulasi energi surya di Indonesia, sedangkan sesi kedua terfokus pada strategi implementasi pengembangan PLTS di Indonesia. Dalam paparannya di sesi pertama, Martha Relita dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral menjelaskan secara singkat potensi pengembangan energi surya di Indonesia, regulasi yang telah dikeluarkan pemerintah, di antaranya peraturan pemerintah (PP) mengenai Kebijakan Energi Nasional dan peraturan presiden (Perpres) mengenai Rencana Umum Energi Nasional. Dalam implementasinya, Kementerian ESDM telah melakukan peningkatan kapasitas infrastruktur energi terbarukan, baik secara komersial mau pun non-komersial, serta berusaha memperbaiki beragam regulasi yang saat ini dinilai menghambat pengembangan energi terbarukan di Indonesia; termasuk di antaranya penghapusan izin operasi PLTS atap untuk sistem di bawah 500 kVA. Menurut Martha Relita, Kementerian ESDM juga telah mendorong sinergi pengembangan PLTS dengan berbagai pihak, misalnya dengan BUMN dan Real Estate Indonesia (REI). Saat ini, pemerintah sedang menyusun roadmap energi surya yang akan menjadi dokumen strategis perencanaan pengembangan energi surya di Indonesia, memuat identifikasi potensi energi surya dari berbagai sektor, analisis teknologi, keekonomian, pembiayaan, dan regulasi, hingga strategi untuk menciptakan pasar dan mendukung kesiapan sistem jaringan kelistrikan nasional. Berdasarkan catatan Kementerian ESDM, total kapasitas terpasang PLTS di Indonesia hingga 2019 baru mencapai 135 MW, dan karenanya memerlukan dukungan dan kolaborasi dari berbagai pihak untuk mewujudkan target Rencana Umum Energi Nasional.
Fabby Tumiwa dari IESR kemudian memaparkan hal-hal penting yang diperlukan untuk menciptakan ekosistem yang kondusif bagi pengembangan energi surya di Indonesia. Menurut kajian IESR (2019), potensi PLTS atap di Indonesia saja bisa mencapai 655 GWp, dengan 116 GWp merupakan potensi pasar yang dapat diwujudkan dengan mempertimbangkan kemampuan finansial rumah tangga. Besarnya potensi energi surya di Indonesia juga diperkirakan oleh IRENA, yaitu dapat mencapai 45 GW (15 GW dari PLTS atap dan sisanya dari PLTS di atas tanah) pada tahun 2030. Dengan potensi yang cukup besar ini, Indonesia memerlukan lompatan (leapfrogging) untuk membangun PLTS secara masif, yang dapat dilakukan dengan: penyusunan program surya nasional yang ambisius, adanya kebijakan dan model pembiayaan yang mampu mendorong skala keekonomian, penguatan sistem pengawasan dan kesiapan jaringan ketenagalistrikan, desain dan standarisasi yang baik, hingga pengembangan kapasitas sumber daya manusia dan peningkatan kesadaran publik. Untuk pelibatan masyarakat luas, kepastian kualitas dan layanan purna-jual serta skema pembiayaan yang menarik menjadi faktor penting, berdasarkan survei pasar yang dilakukan IESR di Jabodetabek dan Surabaya.
Dalam paparannya, Bambang Sumaryo mewakili Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI) menyampaikan kerja dan dukungan AESI untuk percepatan pengembangan energi surya di Indonesia, salah satunya melalui deklarasi Gerakan Nasional Sejuta Surya Atap (GNSSA) pada tahun 2017 lalu. Menurutnya, regulasi dan kebijakan saat untuk perlu lebih merangkul berbagai sektor untuk ikut terlibat, misalnya dengan penyediaan kWh exim gratis untuk mereka yang hendak memasang PLTS atap, sebagai bagian dari upaya mendorong pasar. Selain itu, klausul biaya paralel untuk pelanggan sektor industri yang ingin menggunakan PLTS atau energi terbarukan juga sebaiknya diturunkan atau ditiadakan. Pemerintah saat ini sedang melakukan revisi peraturan tentang biaya paralel tersebut dan diharapkan dapat mendorong minat industri untuk menggunakan energi surya.
Dalam sesi kedua, strategi untuk implementasi pengembangan PLTS di Indonesia dibahas secara lebih mendalam dengan panelis yang mewakili beberapa sektor, yaitu dari Kurniawan Imam G. (Len Industri) yang menjadi ujung tombak sinergi BUMN untuk pengembangan energi surya, Bjorn Heidrich (BayWa Renewable Energy) yang mewakili pengembang swasta, dan Fazrul Rahman (TGUPP DKI Jakarta) untuk implementasi strategi PLTS di tingkat pemerintah provinsi. Dengan target 6,5 GW yang hendak dicapai di tahun 2025, Kurniawan Imam G. mengatakan bahwa sinergi BUMN mentargetkan setidaknya 1,4 GW pemasangan PLTS untuk berbagai fasilitas: bandara, kantor-kantor dan kompleks operasional di seluruh Indonesia. Dengan skema joint-venture antara Len Industri, Pertamina, dan PLN, serta investasi dari lembaga pembiayaan (dalam bentuk loan), diharapkan sinergi BUMN ini akan segera terlaksana di awal tahun 2020.
Dalam kaitannya dengan pembangunan kota, Fazlur Rahman dari TGUPP DKI Jakarta menjelaskan bahwa Jakarta telah mengadopsi sistem pembangunan berkelanjutan. Menurutnya peran pemerintah provinsi dan kota menjadi penting, mengingat sejumlah besar populasi saat ini dan di masa depan akan terkonsentrasi di perkotaan, sehingga perencanaan dan pengembangan kota juga harus memikirkan aspek berkelanjutan, termasuk penggunaan energi. Khusus untuk pengembangan PLTS, Gubernur DKI Jakarta telah mengeluarkan instruksi gubernur yang menyasar bangunan sekolah, bangunan milik pemerintah, dan fasilitas kesehatan. Instruksi ini dikeluarkan dalam kaitannya dengan parahnya polusi udara di Jakarta. Sebagai daerah dengan kemampuan fiskal yang cukup besar, DKI Jakarta juga menjajaki beberapa upaya untuk mendorong pembiayaan untuk PLTS atap dan memperluas target implementasi instruksi gubernur atau mendorongnya menjadi peraturan daerah/gubernur.
Bjorn Heidrich dari BayWa mengungkapkan beberapa permasalahan di Indonesia yang perlu diselesaikan sehingga Indonesia dapat mengejar ketertinggalan pengembangan energi surya; mengingat negara ASEAN lain telah mengembangkan PLTS secara masif. Menurutnya, banyak investor yang ingin mengambil peran pengembangan energi surya di Indonesia, namun terkendala regulasi dan pembiayaan, misalnya skema BOOT (built, own, operate, transfer) dan batasan tarif penjualan listrik mengikuti BPP (biaya pokok pembangkitan) setempat. Melihat Vietnam mampu membangun 4 GW hanya dalam waktu 2 tahun, maka Indonesia perlu menganalisis dan mengevaluasi kebijakan yang saat ini ada untuk membuka pasar dan peluang bagi pihak non-pemerintah untuk terlibat.
Dalam seminar dan diskusi ini hadir lebih dari 75 peserta yang berasal dari sektor pemerintahan, pengembang energi surya, perusahaan instalasi dan penyedia layanan, NGO, dan masyarakat umum. Marlistya Citraningrum dari IESR menyimpulkan seminar dan diskusi ini dalam beberapa poin: Indonesia masih harus berbenah dalam upaya pengembangan energi surya di Indonesia, diperlukan komitmen politik yang kuat untuk mendorong energi surya, serta perlunya kerjasama dan kolaborasi berbagai sektor untuk pencapaian target 6,5 GW di tahun 2025.
Marlistya Citraningrum, Program Manager Sustainable Energy Access IESR