PT Pembangkitan Jawa-Bali Masdar Solar Energi (PT. PMSE) resmi melakukan water breaking (peletakan panel pertama) dalam proyek Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) terapung Cirata pada Kamis, 17 Desember 2020. Pembangunan PLTS terapung di Indonesia sejalan dengan terbitnya Peraturan Menteri PUPR No.6/2020 yang merupakan perubahan dari Permen PUPR No.27/PRT/M/2015 tentang bendungan. Permen ini merupakan bentuk dukungan pemerintah dalam pengembangan pembangkit listrik tenaga surya skala besar di Indonesia. Peraturan tersebut menggarisbawahi pemanfaatan ruang pada daerah genangan waduk yang diperbolehkan untuk beberapa kegiatan diantaranya; pariwisata, olahraga, budidaya perikanan, dan PLTS terapung.
Namun demikian, pemanfaatan waduk memiliki sejumlah prasyarat yang harus diperhatikan, seperti; keamanan bendungan, fungsi waduk, kondisi sosial, ekonomi, dan budaya setiap daerah, serta daya rusak air yang tertuang. Pemanfaatan ruang pada daerah genangan waduk dapat dilakukan berdasarkan izin dari menteri, gubernur, atau bupati/wali kota sesuai dengan kewenangannya setelah mendapat rekomendasi dari pelaksana teknis sumber daya air pada wilayah yang bersangkutan. Berdasarkan peraturan yang ada, pemanfaatan genangan waduk untuk PLTS terapung hanya sebesar 5% dari luas permukaan genangan waduk pada muka air normal.
PLTS terapung kini menjadi tren dalam pengembangan energi terbarukan di dunia. Dikutip dari laman Direktorat Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi, Kementerian ESDM (Direktorat Jenderal EBTKE – Kementerian ESDM) Indonesia memiliki lebih dari 192 bendungan dan waduk, dengan luas tangkapan 86. 247 hektar dan potensi pemanfaatan PLTS terapung diproyeksikan lebih dari 4.300 MWp (pemanfaatan 5% daerah tangkapan air). Secara teknis, PLTS terapung memiliki keunggulan dibanding PLTS di atas tanah (ground-mounted) atau PLTS atap, yaitu: mampu mengoptimalkan pemanfaatan reservoir, tidak ada kesulitan terkait lahan yang besar, dapat dioperasikan secara hibrid dengan PLTA, tersedia jaringan interkoneksi untuk waduk yang juga berfungsi sebagai PLTA, mengurangi penguapan, dan meningkatkan hasil energi hingga 10% karena suhu lingkungan yang lebih rendah. PLTS terapung juga berpotensi menjadi prioritas pemerintah sebagai upaya percepatan target bauran energi 23% di tahun 2025.
Kapasitas PLTS terapung Cirata adalah 145 MWp yang menggunakan 240 hektar dari luasan waduk. PLTS Cirata diprediksi menjadi PLTS terapung terbesar se-Asia Tenggara, setelah PLTS Cadiz Solar sebesar 132,5 MWp yang terpasang di Filipina. Bila PLTS terapung dikembangkan secara masif di Indonesia, maka industri panel surya dalam negeri juga diharapkan tumbuh secara signifikan. Peraturan Pemerintah No.6/2020 tentang bangunan dan instalasi laut, yang mengatur jenis bangunan dan instalasi PLTS Terapung, pembangkit listrik tenaga gelombang laut, bayu, dan lainnya juga akan menarik minat investor karena regulasi tersebut mengatur pemanfaatan ruang pada daerah genangan waduk. Kebijakan yang tepat dan lebih jelas dari pemerintah akan membuat investor semakin yakin dalam berinvestasi karena mereka akan mampu memproyeksikan bisnis mereka di tahun-tahun mendatang. Keyakinan investor dalam industri FPV tentu akan menciptakan daya saing pasar sehingga harga energi surya per kWh akan semakin rendah.
PLTS Cirata dibangun oleh konsorsium PT. Pembangkitan Jawa-Bali (PJB) Investasi – anak usaha PT PJB dan perusahaan energi asal Uni Emirat Arab, Masdar. Investasi yang digelontorkan dalam proyek PLTS terapung Cirata tersebut mencapai US$ 129 juta atau setara Rp 1,7 triliun, yang ditandatangani pada 12 Januari 2020 di Abu Dhabi. PT PJB Investasi memiliki saham sebesar 51% dan sisanya dimiliki Masdar. Harga jual listrik yang disepakati dengan PLN adalah US$ 0,0582 per kWh.
Sejalan dengan hal ini, Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif, Institute Essential Services Reform (IESR) menggarisbawahi, “PLTS terapung memiliki potensi besar untuk mendorong pencapaian target energi terbarukan 23% pada 2025, dan untuk meningkatkan tingkat kandungan dalam negeri sektor tenaga surya, rantai pasok seluruh komponen panel surya juga harus ditumbuhkan”. Berdasarkan analisis IESR, industri domestik panel surya di Indonesia dapat tumbuh dengan minimum permintaan 500-600 MWp/tahun – yang dapat dikontribusikan dari PLTS atap, ground-mounted, dan terapung. Agar harga panel surya dan harga jual tenaga listrik lebih kompetitif, diperlukan setidaknya permintaan kapasitas terpasang mencapai 1000 – 2000 MWp/tahun. Untuk menumbuhkan pasar tenaga surya dalam negeri, dibutuhkan regulasi yang lebih menarik, pengembangan PLTS secara masif, dan dukungan dalam beragam bentuk, termasuk insentif fiskal dan non-fiskal.
Icmi Safitri, Program Officer Sustainable Energy Access – IESR