Jakarta, 15 Desember 2020 – “Berapa biaya investasi dan luasan atap yang saya butuhkan untuk pasang PLTS atap? Apakah benar penggunaannya bisa menghemat biaya listrik? Bagaimana integrasinya dengan jaringan PLN? Peraturan pemasangannya seperti apa?”
Pertanyaan ini kerap muncul dari masyarakat sebelum mereka memutuskan untuk menggunakan PLTS atap. Menurut Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), ini merupakan hal yang wajar sebab umumnya masyarakat sebagai konsumen energi ingin mengetahui dengan jelas sistem PLTS atap yang akan mereka gunakan. Pengetahuan akan produk menjadi bagian penting dari penentuan keputusan tersebut.
“Kebutuhan informasi terkait PLTS atap semakin meningkat dibandingkan 3 tahun lalu saat kita mencetuskan Gerakan Nasional Sejuta Surya Atap (GNSSA). Pasar PLTS atap saat ini juga lebih terbuka, bahkan sudah tersedia secara daring,” jelasnya dalam diskusi Mengejar Orde Gigawatt Energi Surya di Indonesia, yang dilaksanakan oleh IESR.
Meski demikian, ketertarikan ini belum menjadi realisasi yang signifikan. Bila dibandingkan dengan Vietnam, dalam periode yang sama, 2-3 tahun terakhir, Vietnam mampu menggenjot instalasi PLTS atap mereka hingga 1,5 GWp. Sementara, Indonesia baru mencatatkan pemasangan PLTS atap kurang dari 20 MW.
Secara umum, target energi terbarukan Indonesia dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) belum berjalan sesuai rencana. Hingga akhir tahun 2019, capaian energi terbarukan baru 9,15% saja. Sementara, hanya tinggal 5 tahun tersisa untuk mewujudkan 23% energi terbarukan.
“Untuk mengejar target itu, salah satunya dapat dilakukan dengan mendorong implementasi PLTS atap. Sebenarnya GNSSA hadir untuk mendorong terbentuknya orde gigawatt di Indonesia. Jika orde ini terealisasi, maka penetrasi PLTS untuk mencapai target 6,5 GW energi terbarukan dalam RUEN menjadi lebih cepat, tercapainya skala keekonomian, juga akan meningkatkan ketertarikan masyarakat dan harganya menjadi lebih terjangkau,”ungkap Fabby.
Tentu saja, gaungan GNSSA membawa dampak yang cukup baik.Terjadi peningkatan jumlah pelanggan PLN yang menggunakan PLTS atap sepanjang 3 tahun terakhir, dari 268 pada tahun 2017 menjadi lebih dari 2.500 pelanggan hingga Oktober 2020. Kenaikan ini juga dipicu oleh regulasi yang dikeluarkan oleh pemerintah (Permen ESDM No. 49/2018 yang direvisi dengan Permen ESDM No. 13/2019 dan Permen ESDM No. 16/2019), semakin banyaknya perusahaan penyedia layanan pemasangan PLTS atap, dan juga meningkatnya ketertarikan masyarakat untuk menggunakan PLTS atap sebagai bagian dari gaya hidup.
Meski demikian, kenaikan ini masih belum cukup untuk mengejar target energi surya sesuai RUEN dan juga mencapai target Gerakan Nasional Sejuta Surya Atap yaitu 1 GW kumulatif PLTS atap pada 2020.
Menurut Fabby, daripada berharap pada pengembangan PLTS pada skala utilitas yang membutuhkan lahan, waktu dan pembiayaan yang cukup lama, sebaiknya pemerintah dapat pula berfokus pada PLTS atap untuk rumah tangga, sektor bisnis dan komersial, serta UMKM.
“Kajian IESR menunjukkan sampai 2030, potensi pasar untuk PLTS atap di Jawa dan Bali bisa mencapai 10 – 12 GW,” jelasnya pula.
Di Jawa Tengah saja, berdasarkan survei IESR, terdapat potensi pasar hingga 9,6% untuk kelompok residensial, 9,8% untuk bisnis/komersial, dan 10,8% untuk UMKM. Lebih jauh, survei ini juga menunjukkan 7 dari 10 orang pemilik rumah memberikan respon positif untuk menggunakan PLTS atap. Namun, 92% masih memiliki keraguan yang besar karena masih belum paham dengan teknologinya, menganggap harganya masih mahal, dan belum mendapatkan jawaban yang tepat terkait produk dan manfaat penghematan listrik dari PLTS atap.
Terkait harga, menurut Fabby dalam jangka waktu 3 tahun ini sudah terjadi penurunan biaya investasi pemasangan PLTS atap yang semula sebesar Rp 25 – 35 juta per kWp menjadi Rp.15 – 20 juta per kWP. Begitu juga dengan harga modul surya yang turun 40% dari $30 per Wp menjadi 20 sen per Wp.
“Kebimbangan para pelanggan untuk memasang PLTS atap ini dilatari oleh minimnya informasi yang terpercaya dan rendahnya sosialisasi aturan mengenai penggunaan PLTS atap. Selain itu, informasi mengenai prosedur pemasangan PLTS atap tersambung jaringan (on-grid), manfaat yang bisa dirasakan pengguna, hingga di mana mereka bisa membeli produknya pun masih terbatas dan masih terkonsentrasi di kota-kota besar di Pulau Jawa,” papar Fabby.
Bambang Sumaryo, Ketua Perkumpulan Pengguna Listrik Surya Atap (PPLSA) yang sudah menjadi konsumen PLTS atap selama 6 tahun juga mengungkapkan keraguan lain yang biasanya menjadi pertimbangan calon konsumen dalam pemasangan PLTS atap.
“Ketersediaan kWh exim (export-import) yang membuat pengguna PLTS masuk ke jaringan on grid sehingga lebih hemat. Namun justru kWh exim ini yang sulit untuk didapat, terutama di daerah,” keluhnya. Bambang juga sepakat dengan pengamatan IESR terkait kurang meratanya informasi yang bisa diakses calon pengguna.
Selain itu, Bambang menyinggung aturan tarif net-metering 1:0,65 di Permen ESDM No. 49/2018. Tarif ini menyebabkan periode balik modal menjadi lebih dari 5 tahun dan persentase penghematan tidak setinggi yang diharapkan.
Menjawab kurangnya akses informasi untuk masyarakat, IESR membangun sebuah portal daring (online) SolarHub Indonesia (solarhub.id) yang bertujuan untuk memberikan informasi seputar energi surya bagi calon pengguna PLTS atap dan menghubungkan mereka dengan perusahaan penyedia produk dan pemasangan PLTS atap.
“Mungkin masih ada juga masyarakat yang menganggap perlu lahan yang besar untuk pasang PLTS. Padahal dengan kemajuan teknologi, kami bisa pasang PLTS di atap rumah, kanopi atau sebagai sistem hybrid,” ujar Chairiman dari ATW Solar sebagai salah satu penyedia produk dan jasa pemasangan PLTS yang bergabung di SolarHub Indonesia.
Menurut Chairiman, portal ini akan menarik lebih banyak orang untuk berinvestasi di PLTS atap dengan ketersediaan dan keakuratan narasinya.
Di sisi lain, Marlistya Citraningrum, Manajer Program Akses Berkelanjutan IESR, menjelaskan bahwa keberadaan portal SolarHub Indonesia akan menjembatani masyarakat Indonesia, khususnya warga di luar perkotaan dan di luar Pulau Jawa untuk mendapatkan informasi tentang PLTS atap.
“Mereka yang tinggal di Jakarta misalnya, terbilang beruntung karena bisa langsung terpapar pada kegiatan sosialisasi dan terhubung dengan penyedia produk dan layanan bila ingin tahu lebih banyak tentang desain, manfaat penghematan, hingga layanan purna jual PLTS atap,” jelasnya.
Di SolarHub Indonesia tersedia pula kalkulator canggih yang dapat menghitung besaran penghematan biaya listrik, rincian kebutuhan PLTS atap untuk bangunan calon pengguna, dan besar anggaran yang diperlukan untuk investasi tersebut.
Potensi pasar listrik surya atap ini juga menunjukkan bahwa target energi surya di Indonesia dapat dicapai dengan mudah melalui pemanfaatan PLTS atap saja, tentunya dengan adanya kombinasi kebijakan dan regulasi yang mendukung, serta tersedianya informasi yang lengkap dan merata tentang PLTS atap, prosedur pemasangan, penyedia produk dan layanan pemasangan, hingga pilihan skema pembiayaan.
Survei pasar IESR juga menunjukkan bahwa mayoritas masyarakat menginginkan periode balik modal kurang dari 5 tahun, yang sulit dicapai bila tarif net-metering yang dipakai masih 1:0,65 seperti aturan Permen ESDM No. 49/2018. Selain itu, kejelasan prosedur pemasangan di wilayah yang berbeda juga perlu diseragamkan sehingga pengguna PLTS atap tidak perlu menunggu hingga berbulan-bulan untuk
Saksikan kembali siaran tundanya di sini: