Apakah pemerintah dan PLN siap beradaptasi terhadap perubahan penyediaan energi listrik?
Penggunaan listrik surya atap (rooftop solar) kini menjadi trend di berbagai negara. Penyebabnya, karena sumber energi yang satu ini tersedia berlimpah, dan memberikan dampak yang lebih baik terhadap lingkungan. Teknologi energi surya juga semakin berkembang, pasar semakin terbuka, dan mendorong harga listrik surya semakin kompetitif, bersaing dengan harga listrik berbahan bakar fosil yang selama ini dianggap paling “ekonomis”.
Di kawasan Asia Tenggara, negara-negara seperti Thailand, Filipina dan Malaysia termasuk yang gencar dalam mengembangkan rooftop solar. Dengan kebijakan feed-in tariff dan net-metering pelanggan listrik mendapatkan pilihan sumber energi yang bersih, sekaligus peluang investasi dengan jual beli harga listrik. Tak heran, kapasitas terpasang rooftop solar di Thailand tahun 2017 sudah mencapai orde 2,7 gigawatt (GW), disusul Filipina sebesar 885 GW dan Malaysia 375 MW. Negara seperti Singapura juga tak mau ketinggalan, rooftop solar dengan kapasitas total 130 MW kini sudah terpasang di negeri singa itu.
Bagaimana dengan Indonesia?
Data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menunjukan, potensi energi surya Indonesia sangat mencukupi, 207 GWp. Sayangnya kapasitas pembangkit listrik tenaga surya yang terpasang baru berada di kisaran 94 MWp.
Dalam acara diskusi Pojok Energi #8: Akselerasi Pengembangan Rooftop Solar yang berlangsung di Jakarta, Rabu (15/08/2018), Harris, Direktur Aneka Energi, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM) menjelaskan, pemerintah sebetulnya telah menyiapkan sejumlah regulasi dan program untuk mendorong percepatan pengembangan listrik surya.
Dia menyebutkan diantaranya Permen ESDM No.50 tahun 2017 mengenai pengusahaan listrik oleh pihak swasta, Permen ESDM No.12 tahun 2018 tentang PLTS melalui dana APBN, Permen ESDM No. 5 Tahun 2018 mengenai Lampu Tenaga Surya Hemat Energi (LTSHE), Gerakan Nasional Sejuta Surya Atap (GNSSA) yang dideklarasikan pada tahun September 2017 dan Kesepahaman Kerjasama antara Ditjen EBTKE dan Real Estate Indonesia (REI).
“Saat ini, juga tengah disiapkan sebuah rancangan Peraturan Menteri (Rapermen) terkait Listrik Surya Atap. Sehingga para pelanggan listrik PLN di Indonesia, seperti golongan rumah tangga, lembaga pemerintah, sosial dan komersial, bisa memanfaatkan energi surya dengan memasang panel surya di atas atap bangunan rumah, gedung perkantoran dan bangunan komersil, rumah ibadah ataupun fasilitas umum lainnya.”
Rapermen ini juga akan mengatur tentang prosedur perizinan, kapasitas pembangkit yang dihasilkan dari rooftop solar serta ketentuan mengenai harga jual beli listrik pelanggan kepada PLN.
Ketua Perkumpulan Penggunaan Listrik Surya Atas (PPLSA), Yohannes Bambang Sumaryo mengatakan, pemerintah seharusnya menyiapkan regulasi yang mendorong minat masyarakat untuk menggunakan rooftop solar, dan bukan malah membatasinya. Termasuk mengenai prosedur perizinan yang berbelit dan membutuhkan persetujuan dari PLN.
“Kapasitas pembangkit listrik surya atap juga tak perlu dibatasi, karena kini produksi listrik surya di Indonesia masih sangat rendah, baru sekitar 20 MWp per tahun. Jika Rapermen ini lebih banyak memberikan pembatasan bagaiman masyarakat akan tertarik? Dan bagaimana Indonesia akan mencapai target 6,5 GW listrik surya seperti yang dicanangkan dalam Rencana Umum Energi Nasional?” tanya Sumaryo.
Selama ini penggunaan rooftop solar dilakukan secara mandiri oleh sejumlah kelompok masyarakat. Meskipun membutuhkan biaya investasi yang tinggi, mereka konsisten dengan usaha ini karena adanya kesadaran dan keinginan memanfaatkan sumber energi yang lebih bersih.
Menurut Sumaryo, pemerintah seharusnya berkomitmen untuk mendorong penggunaan rooftop solar karena bagian dari janji Indonesia untuk mengurangi emisi dan meningkatkan bauran energi terbarukan.
Dia juga mengatakan, tren dunia saat ini juga telah mengalami perubahan dalam layanan energi. Model bisnis energi kini semakin terdesentralisasi, digital dan semakin bersih. Pemerintah di negara lain justru semakin agresif untuk menyiapkan regulasi yang mendorong pasar yang semakin terbuka, memberikan insentif dan memanfaatkan jaringan perusahaan listrik negara sebagai jalur transaksi listrik antara pelanggan dan kalangan dunia usaha.
“Teknologi listrik surya saat ini memungkinkan adanya sistem penyimpanan (baterai) yang semakin panjang dan harga yang semakin murah. Tidak menutup kemungkinan, jika regulasi yang disiapkan kurang mendukung, pelanggan listrik akan beralih dan memproduksi listrik secara mandiri,” ujarnya.
Yan Yan Ardiansyah dari I Care Indonesia menambahkan, salah satu potensi yang juga perlu mendapat perhatian dalam penyediaan energi adalah adalah kelompok muda. Di tahun 2020-2030, hampir 70% dari penduduk Indonesia adalah kalangan muda dan produktif, mereka mempunyai potensi untuk menjadi konsumen sekaligus produsen.
Kesadaran kelompok muda mengenai sumber energi bersih termasuk dari energi surya kini mulai tumbuh. Meski informasi mengenai penggunaan rooftop solar masih sangat terbatas dan biaya untuk penggunaan rooftop solar dianggap masih sangat tinggi.
“Pemerintah perlu memahami kelompok ini dengan menyiapkan aplikasi informasi dan mekanisme pendanan yang kreatif bagi kalangan muda sehingga mereka tertarik untuk menggunakan energi yang lebih bersih seperti rooftop solar,” ujar Yan Yan.
Dalam diskusi ini, para peserta juga memberikan masukan kepada pemerintah untuk lebih tanggap terhadap perubahan, terutama terkait dengan penyediaan akses energi yang lebih terdesentralisasi, digitalisasi dan lebih bersih. Pemerintah dan PLN juga diminta untuk melakukan kajian yang lebih mendalam mengenani dampak penggunaan rooftop solar, termasuk upaya untuk mendorong PLN untuk mulai beralih bisnis energi terbarukan yang lebih bersih bagi penyediaan listrik di Indonesia.