Jakarta, 24 September 2020
Di tahun ke tiga setelah peluncuran Gerakan Nasional Sejuta Surya Atap (GNSSA), para deklarator, pemerhati energi bahkan pengguna Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) atap, berkumpul secara daring untuk merayakan pencapaian, mengulas tantangannya, dan menegaskan kembali komitmen bersama untuk mendorong penggunaan PLTS atap di Indonesia.
Sedikit bernostalgia, Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reforms (IESR) yang juga merupakan salah satu deklarator GNSSA menuturkan bahwa ide dan target GNSSA ini awalnya tercetus secara spotan namun menjadi sangat berdampak karena melibatkan banyak diskusi dan inisiasi berbagai pakar energi di dalamnya.
Meski, hingga tahun ini, target satu juta pengguna PLTS atap belum tercapai, namun pihaknya mengapresiasi setiap usaha dalam merealisasikannya; di antaranya total 11,5 MW PLTS terpasang dengan 7,5 MW dari total pelanggan PLN, lahirnya Peraturan Menteri (Permen) No. 49 tahun 2018 serta mulai tersedotnya perhatian publik akan PLTS atap.
Menyikapi pencapaian ini, para deklarator yang hadir pun pada umumnya memberikan tanggapan yang senada. Surya Dharma Ketua Umum Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI) mengakui bahwa sosialisasi PLTS atap relatif berhasil.
“Semangat ini tidak boleh padam. Saya ingin kita menggaungkan ini kembali supaya menjadi gerakan yang membawa keberhasilan,” tegasnya antusias.
Seiring dengan bertambahnya minat masyarakat atau pemerintah daerah untuk memasang PLTS atap di rumah mereka, beberapa tantangan pun muncul ke permukaan. Tommy salah satu penggunaan PLTS atap mengungkapkan hal ini, “Di Semarang pada akhir 2018 saat Permen No. 49 baru keluar, net meter masih susah, tapi syukurlah untuk saat ini, net meter di Semarang sudah sangat mudah dan lancar.”
Ia pun menuturkan kendala lainnya adalah penerapan peraturan yang belum seragam sehingga harga produk PLTS atap menjadi sangat bervariasi. Ia berharap kelak ada standarisasi di bidang harga.
Tidak hanya itu, biaya investasi PLTS atap masih cenderung mahal. Tommy mengusulkan agar pemerintah daerah melalui bank daerah bisa memberikan bantuan pinjaman sama halnya seperti pemberlakuan kredit pada motor.
Fabby dalam pemaparannya menyoroti tantangan yang serupa.
“Ada hal yang masih harus ditingkatkan yakni ekosistem untuk mendukung pengembangan PLTS atap,” tukasnya.
Ia memaparkan bahwa keterlibatan pemerintah sangat penting dengan memberikan dukungan kebijakan, pemberian insentif, penguatan institusi dalam melakukan pendampingan, pemberian informasi dan dukungan teknis bagi yang tertarik dengan PLTS atap dan penyediaan pusat pelayanan sehingga menjamin kualitas produk PLTS atap. Diperkirakan, jika rancangan ini berjalan maka dapat menyerap sekitar 30 ribu pekerja di bidang PLTS atap dan berpotensi besar dalam memulihkan perekonomian Indonesia.
Lebih lanjut, Andika Prastawa, Direktur Pusat Pengkajian Industri Manufaktur Telematika dan Elektronika (PPIMTE) yang juga merupakan Ketua Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI), mengatakan bahwa target besar GNSSA bukan berarti ambisius melainkan mendorong segenap pihak untuk bekerja keras.
Ia sepakat bila ekosistem itu terbentuk maka di tahun 2025 pertumbuhan PLTS atap akan semakin cepat. Ia menghitung jika tercapai 200 MW pertahun, maka sekitar 200 juta US berputar untuk PLTS atap sehingga industrinya semakin kompetitif.
“Industri ini cocok untuk membantu pemulihan ekonomi akibat COVID-19, karena PLTS tidak memerlukan pekerjaan yang massif dan tidak melanggar social distancing,” ujarnya.
PLTS Atap Semakin Populer Di Daerah
Hadir pada kesempatan yang sama, Jarwanto dari Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Jawa Tengah menuturkan perkembangan yang menggembirakan mengenai penggunaan PLTS atap di wilayahnya.
“Kita sudah 1 tahun setelah peluncuran revolusi surya di Jateng. Sebenarnya kita terlambat 2 tahun dari GNSSA,” tuturnya seraya tertawa.
Namun, ia menjelaskan bahwa banyak hal positif yang berhasil pemerintah siasati untuk menyukseskan program revolusi surya.
“Dimulai pemasangan PLTS atap di kantor dinas membuktikan kepada semua bahwa setelah kita deklarasi, dengan berani, kita gebrak untuk bisa menjadi kebijakan daerah. Responnya luar biasa bagus. Seandainya tidak ada virus corona, lompatannya lebih tinggi yakni sekitar 5.1 MW di Jawa Tengah,” lugasnya.
Sementara Bali, melalui Disnaker ESDM Bali, Setiawan menjelaskan bahwa pemerintah daerahnya masih mengkaji secara komprehensif pembangunan PLTS atap di wilayahnya karena struktur bangunan dan atap yang cenderung berbeda di bandingkan berbagai kota besar di Indonesia. Meskipun demikian, ia berterima kasih akan bantuan dari pemerintah pusat yang telah memberikan fasilitas PLTS atap sebesar 270 KW di 7 lokasi ikonik di Bali.
Jakarta, di sisi lain, bahkan sudah merekomendasikan penggunaan PLTS atap karena mendukung penurunan pencemaran udara sesuai Instruksi Gubernur nomor 66 tahun 2018.
“Seandainya panel surya ini sudah ada di katalog nasional, maka tidak perlu birokrasi yang lama, pengguna dapat langsung memasangnya,” ujar Rikki dari Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Jakarta.
Salah seorang penggiat solar energi yang telah berjuang selama 20 tahun dan juga merupakan deklarator GNSSA, Jon Raspati menganggap pencapaian GNSSA merupakan impiannya yang menjadi nyata. Ia pun mengajak semua orang terlibat dalam GNSSA bukan semata untuk menikmati keuntungan dari PLTS atap tapi berpartisipasi pula dalam menyelamatkan bumi dari energi kotor.
“Di seluruh dunia, PLTS atap menjadi lokomotif ekonomi. Karena energi surya maupun angin ini tidak pernah habis. Energi ini merupakan energi yang tidak diskriminatif sehingga semua orang bisa memanfaatkannya. Sama halnya dengan bumi ini, jutaan orang yang harus bertanggung jawab merawatnya,” tegasnya.
Saksikan siaran tundanya disini: